Sabtu, 18 Juni 2011

mendengarkan dengan hati

Saya menikmati film Everybody's Fine (gbr diambil dari sini) secara tak sengaja di saluran televisi berbayar. Alur awalnya terlalu biasa tetapi setelah mengikuti hingga di pertengahan waktu, baru bergumam "Ooooo..."
Yang membuat saya berucap "Ooooo..." adalah ketika adegan percakapan antara sang Ayah Frank (Robert de Niro) dengan si anak bungsunya, Rossie (Drew Barrymore) di sebuah meja makan. Dialog yang mereka hadirkan memberi penjelasan kepada pemirsa atas alur-alur sebelumnya. 

Lalu saya terkesima atas pilihan kalimatnya: "father is a good talker but mom is a good listener..that's why we always open with mom. We can share anything without feel worry. About our work, family, love, friends and something that principle. Mom can accept us without any condition". 
Kalimat ini disampaikan sang anak kepada ayahnya setelah ayahnya tak juga mendapatkan jawaban atas kebingungannya terhadap sikap anak-anaknya yang aneh dan terkesan menjaga jarak. Pernyataan Rossie cukup menohok jiwa Ayahnya. Ia adalah kunci atas semua pertanyaan di pikiran Ayah. Setelah jawaban itu, sang Ayah bersedia menerima kondisi anak-anaknya, apapun itu. Inilah sebuah kerelaan yang membutuhkan waktu, mirisnya semua terjadi setelah adanya tragedi.

Menyimak film di atas, membuat batin saya bertukar kalimat. Apakah saya mampu menjadi seorang pendengar dan siap menerima kritikan di waktu yang tak terduga? Apakah saya bersedia menerima saran dari seorang anak kecil?Apakah lima-sepuluh atau lebih dari tahun-tahun itu saya akan menjadi orangtua yang bersedia berlapang dada menyaksikan anak-anak saya memilih kehidupan yang diyakininya? Apakah saya bersedia ditolak jika saya menganggap usulan yang saya yakini baik untuknya??

Saya ingat betul, sejak si sulung berusia 4 th, dan mulai masuk ke dunia sekolah, saya mulai cerewet dan sangat pengatur. Saya takut jika dia begini dan begitu. Apakah ini hanya ketakutan saya saja sebagai orangtua ataukah wajar adanya? Mungkin niat saya baik, tapi apakah sudah benar untuk perkembangan mentalnya? Rasanya saya harus mulai mempertimbangkan ulang kebiasaan itu agar tidak menjadi bumerang buat saya kelak.

Semoga. Mungkin saya harus mulai belajar untuk menyiapkan diri bersikap demikian. Belajar menerima kekalahan dari kemenangan pikiran orang lain, tidak terkecuali dari keturunan saya. Belajar mendengarkan saran-saran pedas atau ucapan yang menyinggung dan memacu adrenalin. Juga belajar tidak merasa 'lebih berilmu' daripada yang lebih muda. Bukankah, anak-anak juga mempunyai pendapat dan kesempatan untuk bersikap? Ah, film itu benar-benar ikut menohokku. Hiks..hiks,..

Menyiapkan kondisi itu, sekaligus mengingatkan saya  untuk menggunakan panca indera yang Tuhan berikan dengan semaksimal mungkin. 
"Tuhan memang maha sempurna. Dia tahu segalanya juga tentunya hasil ciptaanNya. DiberikanNya dua telinga dan satu mulut kepada kita agar kita dapat menjadi orang yang bijaksana dan dapat menjaga hubungan baik dengan sesama makhlukNya..DiberikanNya dua tangan  dan dua kaki agar kita selalu memperhitungkan segala sesuatu sebelum mengambil keputusan dan bertindak..Dia tahu bahwa kita makhluk yang rakus, tamak dan ceroboh..karena itu Dia menciptakan indera yang terbatas...diciptakanNya jiwa yang berakal agar kita senantiasa mengasah naluri kemanusiaan kita untuk mendengarkan dengan hati yang bersih".

Saya berdoa, bisa terus meluruskan niat ini. Bertanggungjawab terhadap keluarga dan anggota masyarakat yang baik. Tanpa harus bersaksi di depan khalayak umum dan kamera media. Berharap agar lidah ini tidak keseleo dan langkah kaki ini tidak terpelintir ke arah yang salah. Semoga saya tak perlu membuat penyesalan di kemudian hari. Layaknya penyesalan seorang Frank kepada keluarganya.


Tulisan ini diikutsertakan dalam kontes "GIVEAWAY ANGKA 100 in Deyfikri Family.