Semasa kecil, saya sempat hidup di sebuah pulau terpencil di Selatan Kalimantan. Kondisi ini disebabkan oleh pekerjaan Papa yang sering dipindahtugaskan. Di pulau ini, hiburan sangat minim. Listrik terbatas. Sarana sekolah juga seadanya. Keramaian kota, jauh dari pemukiman tempat kami tinggal. Jadi jika waktu senggang, kebosanan sering menghantam perasaan saya. Satu-satunya hiburan adalah berkumpul bersama saudara laki-laki saya di kamar dan saling ngobrol ngalor-ngidul. Papa saya, adalah orang yang paling mengerti perasaan kami. Ketika malam tiba, beliau ikut nimbrung dan akhirnya mengeluarkan jurus penenang, yaitu mendongeng. Dongeng yang beliau sampaikan seringkali sama. Saya suka bosan dengan isi ceritanya karena sudah tahu akhir ceritanya. Tapi papa tetap saja meneruskan kegiatan asyiknya itu...:)
Ketika saya pindah ke Jawa Tengah, menikah dan mempunyai anak pertama, Ibu mertua adalah orang yang memiliki hobi sama dengan Papa. Beliau senang mendongeng menjelang putra dan putrinya tidur siang maupun malam. Diajaknya sang anak ke kamar untuk menghabiskan sisa hari dan sibuk bercerita tentang dongeng-dongeng lawas yang selalu diingatnya. Uniknya, Ibu mertua selalu menggunakan bahasa Jawa kromo inggil (bahasa jawa halus) dalam penyampaian ceritanya. Si sulung yang tinggal serumah dengan beliau pun ikut terimbas dengan hobi sang eyang Putri. Saya yang tidak paham dengan bahasa Jawa, sering ikut mencuri dengar dongeng-dongeng beliau. Hitung-hitung, "sekalian belajar bahasa Jawa" batin saya. Kapan lagi ada privat gratis seperti ini?? Maklum saja kedua orangtua saya yang Jawa-Sunda cenderung berbahasa Indonesia dalam kegiatan sehari-hari. Alhasil, saya sering kelimpungan jika berhadapan dengan kosakata Jawa. Ah, bagaimana kelak jika anak-anak saya bertanya dan saya tak bisa menjawabnya?? Sungguh terlalu...:)
Dengan kondisi itulah, saya pun ikut nimbrung belajar bahasa Jawa kepada sang mertua melalui metode "mendongeng". Saya jadi paham tata bahasa, tata krama dan tentunya sejarah tanah Jawa meski masih dalam skala yang minim..
Mengingat kembali kenangan pada masa kecil saya, saya jadi iri dengan kondisi sekarang. Beberapa daerah yang terjangkau dengan akses informasi dan pusat wacana, pasti tidak pernah ketinggalan informasi terbaru tentang perubahan dunia, namun untuk kondisi yang mirip dengan saya kala itu...ah sungguh kasihan mereka. Betapa sulitnya kami mendapatkan bahan bacaan untuk sekedar penghalau sunyi ataupun penambah dahaga ilmu. Betapa repotnya langkah kaki kami untuk menjangkau arah itu karena pertimbangan jarak dan biaya yang mahal. Semua itu akhirnya terbayar dengan canggihnya teknologi seperti Hp dan parabola yang menjamur di setiap penghuni rumah. Si Ali, Fida, Narti, Rani, Hamisah tak lagi kerepotan untuk mencari informasi berita. Mereka telah berhasil dijinakkan oleh si pencari mesin Google dan juga kanal-kanal televisi berbayar. Tak perlu repot-repot membaca kamus Bahasa Indonesia untuk sekedar mencari satu kata sulit dari pertanyaan sang anak. Tak lagi dianggap ndeso karena hapal lagu-lagu pop Indonesia hingga hapal hobi artis sekelas Katy Perry.
Fenomena ini telah memutarbalikan indera kita. Hanya mata yang bekerja menyaksikan siaran yang menghanyutkan. Tak ada lagi keramaian di dekat rumah pada "ruang baca" yang telah disediakan secara gratis tis tis,...
Berkaitan dengan itu, seorang muda yang peduli dengan kejadian ini, melakukan aksi kepedulian bersama 11 teman-temannya. Mereka berhasil membuat buku yang berjudul "PERI-PERI BERSAYAP PELANGI". Buku ini adalah kumpulan 20 cerita pendek anak yang ditujukan untuk menggalakan kembali pola hidup "mendongeng". Hasil penjualan akan didonasikan kepada anak-anak kurang mampu seperti mereka yang berada di beberapa rumah singgah, sekolah pasca bencana, rumah sakit anak dan taman baca anak di beberapa daerah terpencil.
mari dukung aksi mulia ini..buku bisa dipesan di
email : peribersayappelangi@gmail.com
sms : 08562740285 (topan)
Tulisan ini diikutsertakan di acara GIVEAWAY BUKU PERI-PERI BERSAYAP
di blog Mbak Pungky...