Rabu, 13 April 2011

Belajar Menghargai

Surat adalah media yang paling diunggulkan sejak zaman dahulu hingga kini. meski saat ini keberadaannya mulai tergeserkan oleh teknologi elektronik namun fungsinya tetap berjalan. Hari ini saya tak ingin bercerita tentang kedudukan sebuah surat. Tetapi mungkin tentang nasib pengantarnya. Pernahkah anda saksikan seorang tukang pos kebingungan mencari sebuah alamat yang tepat berdasarkan alamat surat?? Pastinya ya. Sungguh kasihan. Kewajibannya untuk menyebarkan amanat yang diembannya kadangkala harus menghadapi kesulitan akibat ketidaklengkapan dalam penulisan alamat atau ketika si empunya nama hanya dikenal di lingkungan masyarakat dengan nama panggilannya aja. Alhasil semua orang yang ditanyai akan kebingungan juga..saya bisa membayangkan betapa lelahnya melakukan itu di siang hari yang terik. Apalagi tidak semua orang bersedia dimintai tolong. Belum lagi tidak semua orang pula bersedia menunjukkan ke alamat yang jelas. Repot ya..! Hal penting lainnya adalah, tidak semua orang yang mendapatkan surat menerima dengan lapang dada, ada yang jawabannya ketus, ada yang cuma senyum sepintas atau ada yang enggan membuka pintu karena lebih asyik dengan urusannya sendiri. Nah si surat akhirnya masuk melalui lubang jendela atau pintu jika si empunya tidap punya kotak surat. 

Saya menempati sebuah perkampungan yang padat,..hari ini saya menyaksikan dengan mata kepala akan kesedihan seorang tukang pos ketika salah seorang receiver alias penerima surat menolak dengan ketus dan berkata kasar kepadanya. Rasanya hidup ini sungguh tak adil..ada orang yang bersusah payah malah diacukan. Andai saja tukang pos itu memilih untuk menggunakan GPS di kendaraannya maka setiap surat yang terkirim mungkin lebih mudah sampai ke tempat tujuannya tanpa perlu bersusah payah bertanya kesana kemari..tanpa perlu berinteraksi dengan mereka yang sedang sibuk atau menyibukkan diri.    

Mungkin kisah di atas hanyalah sekelumit dari beragam kisah di dunia ini. Ada banyak hal yang sering terlewatkan dari diri kita terhadap sesuatu. Yah, sesuatu yang tampak kecil namun begitu besar artinya. Sesuatu yang berada di bagian ekor namun mempunyai pengaruh terhadap posisi dan gerak kepala. Jadi apa pesan yang bisa saya petik siang ini? belajarlah menghargai jerih payah seseorang meski hanya dengan ucapan terimakasih. Hal paling gampang yang kini lazim dilakukan tapi kadang kita melakukannya tanpa konsentrasi sehingga seperti kewajiban dan kurang keikhlasan.  Berterimakasih itu seperti kata-kata yang tiba-tiba muncul tatkala saraf kita bereaksi terhadap perhatian dan kebaikan seseorang. ..spontan dari hati! 

SEBUAH PENGAKUAN



Sosok itu belum juga muncul pagi ini, dengan sabar Meta menanti. Sambil menunggu ia berjalan masuk ke Taman Pelangi. Tanpa sengaja dia mendengar suara tangisan anak kecil di sebuah ruang khusus.Tak lama, seorang perempuan muda keluar dari ruangan itu. Meta bersitatap dengannya. Mereka saling terkejut.
 “Cica!" tegur Meta.
"Meta? Koq, ada di Taman?" sambut Cica bingung.
“Ya, sekedar lihat-lihat, aku telah menunggumu sejak tadi di luar," lanjut Meta.
Pelan-pelan Meta mendekati Cica dan bertanya, "Ini anak siapa, Ca?"
“Anakku,” jawab Cica pelan.
 "Koq ga pernah cerita?" selidik Meta
Cica terdiam. "Aku belum siap untuk menceritakan ini kepadamu, aku takut kamu menjauhiku," Cica berbisik.
"Koq berpikir seperti itu?" Meta menyesali pertanyaanya.
"Karena aku telah melakukan kesalahan Met, aku tak bersuami,"  isaknya perlahan.
Meta merengkuh pundak Cica dan merangkulnya, meyakinkan Cica bahwa ia tidak memperdulikan status Cica. Mereka saling tersenyum lalu berjalan sambil berpegangan tangan, berharap hari-hari selanjutnya lebih indah.