Rabu, 06 April 2011

Hama ulat bulu, fenomena rusaknya keseimbangan alam?

Hama ulat bulu yang terjadi di kota Probolinggo diduga berjenis Lymantria marginanta. Jenis ini tergolong baru dan belum ada sebelumnya di tempat tersebut(sumber:www.surabayapost.co.id). Keberadaan jenis ulat ini sungguh aneh karena saat ini telah masuk musim kepompong bukan fase ulat. Oleh karena itu fenomena ini bisa dijadikan pertanda bagi kita manusia untuk memikirkan apa yang menyebabkan ulat bulu menyerang rumah penduduk di saat jenis lainnya telah memasuki fase kepompong. 

Marilah kita mencoba menganalisisnya dari kacamata sederhana dan berbekal pengamatan empiris. Mungkin kita masih ingat dengan pelajaran IPA saat duduk di bangku sekolah SD dulu. Saat itu, Pak Guru menjelaskan bahwa dalam satu kehidupan terdapat rantai makanan. Rantai makanan adalah perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jenjang makan (tumbuhan - herbivora - carnivora - omnivora). Pada setiap tahap pemindahan energi, 80%–90% energi potensial hilang sebagai panas, karena itu langkah-langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan perkataan lain, semakin pendek rantai makanan semakin besar pula energi yang tersedia (id.wikipedia.org)
Jika dalam suatu ekosistem terjadi pemutusan rantai makanan yang disebabkan oleh kerusakan alam maka akan terjadi ledakan populasi pada kelompok pemangsa atau kelompok yang dimangsa.

Keadaan itu menyebabkan ekosistem menjadi tidak seimbang. Jika seharusnya jumlah ulat-ulat tersebut 10 ekor tiap meter persegi maka jumlahnya bisa meningkat menjadi tiga atau lima kali lipat. Well, bisa dibayangkan kan jika ulat-ulat tersebut tidak dimangsa oleh burung, hewan pemangsa ulat nomor satu. Populasinya akan tambah meledak dan tak terkendali kecuali jika kita, manusia punya ide untuk memanfaatkan ulat ini sebagai makanan tambahan. 

Sama halnya dengan keadaan di atas, migrasi yang dilakukan oleh sekelompok hewan ke suatu tempat yang belum pernah dikunjunginya, bisa jadi merupakan pertanda akan adanya kerusakan alam tempat komunitas ulat ini berada. Selain faktor berkurangnya hewan pemangsa keadaan ini bisa jadi karena minimnya jumlah makanan yang dibutuhkan oleh kupu-kupu. Apakah kita masih ingat dengan fenomena turun gunung sekelompok kera di daerah lereng merapi? Ya, kera-kera tersebut mengetahui adanya perubahan kondisi alam pada gunung merapi. Mereka mengantisipasinya dengan mencari makanan di tempat lain yaitu rumah penduduk. 

Pekerjaan rumah buat para peneliti adalah mencari asal dari jenis ulat Lymantria marginanta ini dan mencari informasi yang tepat tentang kondisi ekosistemnya dan juga jenis hewan pemangsanya. Benarkah tak ada seekor hewan pun yang berminat dengan jenis ulat ini? Jika ada yang janggal maka mungkin ada kaitannya dengan migrasi ulat ini ke beberapa daerah di Jawa Timur itu. Kita sebagai kelompok pemangsa terbesar dalam lingkaran rantai makanan juga harus waspada. Fenomena ini adalah sinyal akan adanya kerusakan yang ditimbulkan oleh wabah ulat Lymantria marginanta yang menyerang lahan pertanian penduduk dan mungkin berpengaruh juga pada hasil produksi pangan kita.  


4 komentar:

  1. Menarik fenomena alam sekarang, ya, Mba. Iklim dan cuaca juga sekarang aneh.

    Blognya baru banget, ni :) welkam :) untuk theme yg lucu lucu, bisa cari di google dgn keyword "free blogspot theme", Mba :)

    oiya, maksudnya tukaran link gimana, Mba?

    BalasHapus
  2. ketidakseimbangan ekosistem seperti itu mungkinkah terjadi akibat perbuatan tangan kita manusia....??

    BalasHapus
  3. @hastakaryanovi
    makasih dah mau mampir mbk,..yg kutau,perubahan cuaca slh satunya krn efek rumah kaca,perbuatan manusia jg..heehe

    BalasHapus
  4. @ianz
    sbnrnya tlsnku hanya analisis empiris, mmg tangan2 jahil nan tamak sering merampas hak penghuni alam yg lain.

    BalasHapus

Tinggalkan jejak ya,..makasih :)